Ketika benih kemalasan muncul, selamat….
Mungkin akulah orang-orang yang paling sial. Memuja-muja kemalasan sebagai sesuatu yang membanggakan. Entah, mulai sejak kapan virus kemalasan itu menyergap otakku. Mencuci segala hal yang berbau kerja, apalagi kerja keras. Ah, aku alergi jika mengatakan “kerja”. Sungguh, aku tak ingin mengatakannya. Sebuah kegiatan yang membosankan. Memusingkan kepala, sumber stress paling akut, biang keladi rusaknya tata kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Sumber dari segala sumber kemiskinan. Kerja, ah ialah muasal segala kebobrokan yang menghunus kedirian milyaran manusia masa kini. Maaf, aku bukan orang yang pantas untuk didengar. Aku hanyalah seorang pemalas yang ingin menceritakan bagaimana nikmatnya sebuah kemalasan. Betapa bahagianya hidup dengan kemalasan, bersenang-senang sepanjang hari. Ya, kemalasan adalah jalan surga. Sebuah jalan bersenang-senang dengan rupa bidadari-bidadari cantik bermata manis dengan mahkota paling ranum di lapang dadanya.
Siang itu hari begitu terik. Seperti biasa, aku yang pemalas ini sedang bersantai di kantin Dholpin. Sebuah kantin yang penuh dengan kesenangan. Bagaimana tidak, yang kutahu hanya kantin kampus inilah yang sering dikunjungi perawan-perawan cantik. Menebar wewangian yang menelusup ke kedalaman indera penciumanku. Menawarkan aroma perawan muda setengah baya. Semoga aku tak salah tebak teman, jikalau saja aku dapat memeriksa selaput daranya maka perkataanku ini akan menjadi hal paling falid untuk sekedar dijadikan data riset penelitian melebihi data yang diusung sebuah kelompok organisasi dimana pernah ia menyatakan sebagian besar selaput dara perawan-perawan dari surga itu telah robek sebelum waktunya.
“kopi ceng”, perintahku kepada seorang bertubuh gempal dengan topi warna coklat yang selalu melekat di lingkar kepalanya
“oke bos, siap”
Aku seperti melayang tiap kali sihir kafein ini merembes memasuki langit-langit kerongkonganku, memberikan senyawa serupa candu yang mengantarkanku pada sebuah ektase paling dalam. Memang, pemalas sepertiku selalu saja mengintip surga kenikmatan ini. Tak perlulah lama-lama menunggu gerbong-gerbong waktu mengantarkan kita pada alamat paling tepat di akhir wisuda kita di dunia ini. Memiliki surga tak harus nanti. Aku yang pemalas ini telah menguji dan terus menguji betapa surga adalah sebuah keindahan yang tak melulu bisa digambarkan dengan ranumnya bidadari dengan anggur-anggur paling manis disekujur tubuhnya. Dan nyatanya itulah yang kunikmati: sekarang.
Dalam sebuah ektase aku dikagetkan oleh sebuah suara.
“sedang apa kak?”, aku mengenali suaranya dan dengan terpaksa kuletakkan dulu buah-buah manis surga dalam ektase yang dalam itu.
“sekarang kerja dimana?”
Ah, lagi-lagi kerja. Aku sungguh alergi menyebut kata-kata itu. Namun, demi etika dan segalarupa bentuk kesantunan yang berlaku di masyarakat kita maka kujawab dengan sebuah senyuman dari surga.
“hehehe, aku ngga kerja kok”
Pertanyaan demi pertanyaan kujawab dengan penuh kesantaian yang luar biasa. Dan sampailah pada inti pertanyaan yang amat sederhana tapi terasa esensial sekali.
“kak, masak iya orang hidup itu hanya begini doang?” “maksudnya?” sergapku. “ya hanya begini; lahir, sekolah, SD - SMP - SMA - Kuliah - Kerja - Nikah - Punya anak - Mati, sesimpel itukah?”
Dalam hati, aku berkata: bagus, anak ini mulai jadi pemalas. Mulai menelusup ke gapura surganya. Lihat saja pertanyaannya, mana ada orang sibuk sampai mendapati pertanyaan sepele tapi esensial seperti itu. Tampak bahwa ia sedang mengalami kekosongan batin. Ia mulai tak yakin atas apa yang akan dan sedang dilakukannya. Ya, kita ini sudah diset oleh pendapat umum “normalnya ya demikian yang dilakukan”.
Ketika aku tanya:
“lha kamu kuliah itu sebenarnya tujuannya ngapain sih?”. Ia bingung.
Terus terang saja, coba tanyakan kepada mahasiswa mahasiswi yang sedang kuliah, pasti jawabannya macem-macem. Ada yang jawabnya: karena normalnya ya begitu. Ada lagi menjawab; nuruti orang tua. Ada juga: menuntut ilmu. Ada yang aneh juga: cari temen, cari koneksi, cari pacar. Dan beragam jawaban lainnya. Sekarang cobalah kejar pertannyaan itu hingga sampai pada inti yang paling dalam. Tak peduli sekarang Anda adalah seorang presiden, panglima tertinggi angkatan perang, dosen, guru, pegawai, mahasiswa, atau apalah itu tak terlalu berpengaruh.
Ketika aku bertanya: siapa yang pandai dalam hal teknik mesin, nuklir, sastra, puisi? Anda mungkin akan mengacungkan tangan dengan semangat bergelora berkata:
“aku”
Tapi ketika aku bertanya lagi:
"Aku itu siapa?"
pertanyaan ini tak bisa dengan cepat dijawab hingga kemalasan telah menelusup jauh sampai ke kedalaman rantai-rantai DNA kita. Sebuah candu dari surga. Sebuah candu yang tak melulu bisa digambarkan dengan ranumnya bidadari dengan anggur-anggur paling manis disekujur tubuhnya. sebuah candu yang datang saat kemalasan itu memuncak sampai pada taraf ektase paling dalam.
(gunawan)
ReplyDeleteHai kawan...jadilah manusia sprt mnsia biasa.yakinlah dg keyakinanmu itu!!kewajaran adlh manusia yg sdar bahwa kita manusia.tidak da kata besar kecil,tinggi rendah,hitam putih.sesungguhny mnsia it dicptakan utk tau isi,kata,wrna,angka,teori atau pun rumus2.belajar it perlu,dg blajr qt bsa tau,mengerti bahwa qt sama.
Hai kawan....jgn heran akupun prnh merasakan kata2 yg ada di htimu.bukan hanya surga n neraka,bukan giat ato malas,bukan gombal tp wajar.temukan titik(.) manusiamu.kutunggu di pojok dunia yg jernih ini.
By.wi2t
(admin)
justru dari titik puncak kemalasannlah yang membuat kita bertemu. coba baca lagi dan ambil esensi terdalamnya, sudah ada klu nya di sana
(Lilik)
Yg pasti saya sngat tidak stju dg 'kerja adl sumber stress,.sumber rusaknya bangsa,.'
Stress ato tidk itu tergantung orgnya,.bila kita menikmati apa yg kita kerjakan,.apakah kita jd stress?,.Tidak,.
Tp Coba hitung berapa bnyak org stress krn pengen kerja tp blm dpt rejeki,..
Tiap hari jd cuma ngopi & main gaple,.nyalahin org kaya,,nyalain pemerintah,.tp ga nglakuin apa2,.bukankah itu malah yg jd sunber rusaknya bangsa,.
Kerja itu ibadah,.apapun pekerjaan anda,..soal,.lahir, sekolah, kuliah, nikah,.punya anak, mati,.Adalah kepastian yg membosankan,..?begitulah adanya jika kita anggap itu membosankan,.
Hidup itu pasti ada masalah,..klo ga ada masalah y mati aja,..
Tinggal gimana kita menjalaninya,..
(admin)
beruntunglah jika ada orang yang mencintai "pekerjaan"nya karena sebenarnya ia bukanlah bekerja tapi menjalani kebahagiaan tertingginya. menjalani suara hatinya. alhasil tak ada stress. tapi nyatanya kebanyakan orang tidaklah demikian. negara dan bangsa yang semakin hari semakin komedi ini adalah buktinya. realitasnya. jikalau sekali lagi orang mau menuruti suara hatinya maka ia tidaklah "bekerja" namun mereka berkarya. "tergantung orangnya" kata ini adalah kunci yang mengantarkan orang ke dalam kediriannya yang paling dalam. Tiap hari jd cuma ngopi & main gaple,.nyalahin org kaya,,nyalain pemerintah,.tp ga nglakuin apa2, ditambahin lagi: orang yang hanya menuruti kata orang alias membebek saja. Itulah pemalas sejati.
komen dr facebook