MENENGOK LAGI KEBERAGAMAAN KITA
MENENGOK LAGI KEBERAGAMAAN KITA
Ditengah isu krisis energy yang merebak sekarang ini. Disusul dengan semakin komedinya PSSI, sesekali masih saja santer terdengar di kedalaman telingaku berita mengenai sekelompok orang paguyuban ahli surga yang menginginkan dibubarkannya jemaat-jemaat lain di luar dirinya.
Alasan penistaan agama memang menjadi isu paling sensitive sejak dunia ini masih purba hingga di masa yang katanya terang benderang ini. Sayangnya kegiatan rekreasi pembakaran dan bahkan pembunuhan bagiku tak lebih suci daripada tindakan kaum barbar.
Jika demikian aku jadi ragu akan jalan yang ditawarkan oleh agama sebagai jalan kemerdekaan. Mungkin yang salah bukan agamanya. Mungkin juga aku sendiri yang terlampau dungu untuk memaknai hikmah di balik ini semua.
Berangkat dari atheis
Berpola pikir menjadi atheis bisa jadi adalah obat paling manjur untuk kembali mengoreksi apa-apa yang ditawarkan oleh barang dagangan bernama agama. Mohon jangan marah dulu. Karena kenyataannya agama seringkali dijadikan barang dagangan dengan jaminan surganya. Beruntung jika hanya ada surga, nyatanya di dunia ini selalu saja ada pasangan kata. Neraka menjadi momok paling menakutkan dan oleh karenanya memaksa seseorang untuk membenarkan segala bentuk perilaku karena jika tidak maka nerakalah yang akan menjadi rumah huni paling mengerikan di negeri kelangenan akhirat kelak.
Atheis bukan berarti tak mencari
Aku rasa seorang atheis tahu betul konsekuensi yang akan menimpanya kelak jika ternyata Tuhan itu benar-benar ada. Jika Tuhan itu tak ada maka tak jadi masalah bagi seorang atheis. Akan tetapi jika Tuhan itu ada maka kecelakaanlah yang akan di terima oleh para atheis.
Menariknya di sini. Seorang atheis harusnya telah mengalami proses berpikir dan proses pencarian yang sangat panjang dan menjemukan. Pencarian akan kebenaran yang pada akhirnya memaksa dirinya memasuki gerbang istana dunia filsafat. Tak jarang karena “keputus asaanlah” yang menjadikan mereka jemu lantas mandek begitu saja karena yang dicarinya terlepas dari buah pikir makhluk yang bernama manusia.
Nyatanya, mendefinisikan “pikiran” sendiri sepertinya tak akan sah jika hal itu didefinisikan dengan pikiran juga. Sama saja seperti seekor beo yang mendefinisikan beo. Ciptaan mendefinisikan ciptaan. Aku rasa kita ini ibarat gambar yang ingin tahu siapa yang menggambar.Taruhlah aku menggambar manusia bernama paijo di buku gambarku. Anggaplah si Paijo ini bisa berpikir layaknya hidup di dimesi ketiga. Ia pastinya meraba-raba dan tak tahu apa-apa mengenai dunia bernama dimensi ketiga yang aku huni. Maka tepatlah jika sejarah mencatat “sesuatu” itu dengan ungkapan tan kena kinanya ngapa. nggoleki tapaking kuntul anglayang, nggoleki galihe kangkung. Tak bisa dibayangkan. Ia melampaui kata-kata. Hanyalah bahasa simbol yang penuh dengan metaphor yang sampai sekarang bisa dicapai oleh makhluk yang bernama manusia.
Idealnya terus mencari
Tak pelak lagi, usaha untuk terus mencari itu harusnya yang dilakukan oleh para pencari Tuhan. Terserah mau menggunakan teknik model apa, metode model apa. Kenyataannya tetes-tetes mata air itu muaranya tetaplah laut. Dari puncak manapun ia menetes, ia akan mencari jalan untuk kembali ke rahim ibunya. Normalnya setiap tetes mata air dalam perjalannya akan memberikan banyak manfaat bagi makhluk-makhluk lainnya. Itu kondisi paling alami tanpa campur tangan manusia. Ia memberikan kesejukan, memberikan saripati gizi bagi tetumbuhan dan hewan-hewan. Bukan malah memberangus layaknya bah yang memporak porandakan segalanya.
Ketahuilah, tetes mata air tak akan menyerah untuk mencari jalan. Dihadang batu ia berbelok ke kanan. Dihadang lagi ia berbelok ke kiri. Dihadang lagi ia merembes atau melapukkan. Mentok, ia menguap. Dikedipkan awan. Langsung ke laut atau kembali menjadi mata air dengan jalan yang sama sekali baru.
Semua itu berjalan terus menerus layaknya sebuah siklus. Jadi, selama makhluk bernama manusia ini masih hidup maka tak ada kata berhenti untuk mencari. Itulah pencari sejati. Itulah pencari Tuhan sejati.
Pencari Tuhan memang selalu dihadapkan dan dihalangi batu-batu tersebut. Jika bisa menghindar lebih baik menghindar, namun jika tidak bisa tembus saja dan lapukkan itu batu..
ReplyDeleteBagus sekali wejangannya...
Salam kenal..
salam kenal juga mas Dhanz. peace, love, and light..
ReplyDelete