MENCARI TUHAN DI WARUNG KOPI

Inilah buku yang aku bilang bahasanya berat. Ya, jika Anda baru “tersesat” di rimba petualangan pencarian yang tak henti-henti buku ini cukup menarik untuk dibaca. Karya Mas Ilung ini cocok untuk Anda jadikan buku bacaan pengantar sebelum Anda berniat membaca karya-karya Syekh Abdul Qadir Al Jailani, Rumi, Al Hikam-nya Ibnu Arabi, atau buku-bukunya Al Ghazali yang bisa jadi lebih terasa berat.

Akan tetapi, jika Anda sudah tak asing dengan tasawuf, buku ini mungkin dapat memberikan sudut pandang baru dimana jika selama ini pencapaian suatu titik tertentu sudah terlanjur digambarkan sebagai jalan menanjak maka Ilung berpendapat bahwa jalan itu justru melingkar. Dengan demikian seorang yang sudah mencapai makrifat, bisa kembali ke awal dan bertemu dengan mereka-mereka yang masih start di jalan syariat. Begitu pula mereka yang telah menempuh jalan hakikat, akan saling berjumpa dengan mereka-mereka yang berada di jalan tarikat dan syariat, bertegur sapa dengan mereka yang sudah melalui jalan makrifat. 

Mereka yang telah menempuh seluruh lingkar jalan, yakni pejalan makrifat, dengan sendirinya akan menjadi tumpuan pertanyaan bagi para pejalan yang baru melangkah. Nah, jika sudah begini, maka gugurlah kompetisi yang tidak perlu itu, alih-alih, para pejalan yang biasa saling bersitegang, malah akan saling akrab. Semuanya saling berbagi pengalaman di jalan-jalan yang mereka lalui dengan penuh kehangatan. Dengan begitu, masalah kusut dalam dunia tasawuf, dengan sendirinya akan terselesaikan. Dan bukankah ini makna sejati dari sebuah perjalanan menuju Tuhan?

Selain kritik perihal jalan tersebut, Ilung juga mengkritisi perihal independensi dalam belajar tasawuf. Beberapa kalangan sufi beranggapan, bahwa menempuh tasawuf tanpa guru (mursyid), maka syetan-lah yang akan membimbingnya. Adalah suatu hal yang paradoks dan tidak masuk akal, bagaimana mungkin seorang syetan membimbing manusia memasuki tasawuf yang notabene adalah kawah candradimukanya penempaan keimanan. 

Di sini pun, konteks mursyid harus dilihat dari situasi zaman. Zaman dulu, seorang mursyid jelas merupakan sebuah keniscayaan. Sebab pada masa lampau, pengetahuan manusia pada umumnya masih dalam taraf terbata. Jelas membiarkan seseorang berjalan sendirian dalam jalan gelap tasawuf, adalah sebuah kesalahan fatal. Namun sekarang? Jelas tidak relevan lagi, dimana manusia modern sudah identik dengan kemandirian dan ditandai dengan gejala skeptisisme kepada siapapun, tentunya lebih mempercayai diri sendiri (intuisi). Tak bisa dibayangkan, jika pada zaman sekarang, manusia harus taqlid kepada seorang mursyid, yang jelas-jelas kita tak tahu bagaimana tingkah-polah kesehariannya.

Itulah beberapa gambaran isi yang diketengahkan seorang Ilung dalam bukunya. Bagi Ilung, Mencari Tuhan di Warung Kopi tentu saja bukan omong kosong. Berlama-lama di tempat ibadah pun bukan jaminan bahwa seseorang senantiasa ingat kepada Tuhan. Bukankah Tuhan juga tidak pernah membatas-batasi hamba-Nya untuk terus menemui-Nya? Buku ini menawarkan sebuah pandangan baru dalam mencari Tuhan secara akrab, elegan, dan sekaligus menyenangkan.

1 Response to "MENCARI TUHAN DI WARUNG KOPI"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2