MENZIARAHI DIRI
Mungkin ada
tunas yang mulai berakar setelah hati seolah mati. Ada rindu yang bersandar. Aku
cukup paham akan rasa dan kecewa. Aku cukup mengerti mana mawar mana kamboja. Ini
hari, kulihat tunas itu bertumbuh, menjaring matahari…
Aku
telah bepergian jauh. Jauh menapaki jengkal demi jengkal kerak bumi. Dari tanah
gersang hingga hutan-hutan. Dari kampung-kampung urban hingga kota-kota
metropolitan. Aku melihat orang lalu lalang, sama sepertiku. Mereka juga pergi,
jauh sekali. Entah mau kemana? Entah mau mencari apa? Aku sendiri tak jelas
arahku. Sejak para suci menasehati arah kedatangan dan arah kepulangan, aku
masih saja hirau petuah mereka. Petuah yang berselimut kabut, tertutup tabir
karena hidup kita pun sama berkabut. Aku ingin pulang sayang. Mungkin aku
merindu ketika seperempat abad silam aku tidur dalam gua itu. Gelap dan nyaman,
gelap tapi terang.
Aku
terhenyak tak karuan. Selama ini ternyata ada pekuburan di rumah tinggalku. Sudah
lama aku menelantarkannya bahkan mungkin tak pernah tersentuh oleh tanganku. Tak
pernah terlihat oleh dua buah bola mataku. Oh… sungguh mengenaskan. Ini sungguh
sebuah ironi. Lama sudah aku bepergian tapi begitupun tak jelas jua kemana
hendak aku mau pergi. Mungkin aku mencari pekuburan ini. Ya… orang-orang juga
mencari kuburan mereka sendiri-sendiri. Aku semakin heran. Sekarang kulihat
orang-orang jadi mayat. Aku sendiri pun mayat. Mayat-mayat yang mencari
kuburannya masing-masing. Selama ini aku, kau, mereka mati. Aku tak pernah
hidup. Dan memang benar, bahwa kita mati untuk hidup.
0 Response to "MENZIARAHI DIRI"
Post a Comment