Tarikan bumi dan tarikan langit


Jaman yang semakin gonjang ganjing seperti sekarang ini membuat sebagian besar orang resah. Tak terkecuali para remaja dan dewasa muda yang masih haus akan jati dirinya sendiri. Pada tahap itu mereka biasanya mencari sesuatu di luar dirinya. Namun sebenarnya dorongan itu berada dalam inti dirinya sendiri. Dorongan kebahagian. Hal itulah yang disematkan Sang Maha Hidup dan sebenarnya Tuhan sendirilah sumber kebahagiaan itu. 

Namun demikian sedikit dan amatlah sedikit orang yang menyadari bahwa kebahagiaan itu ada dalam dirinya sendiri. Banyak orang justru mencari sumber kebahagiaan di luar dirinya. Mereka sama mencari apa yang disimbolkan dari tarikan bumi yaitu harta-tahta-wanta. Sedangkan sebaliknya tarikan kelangitan tampak dihiraukan. Sangatlah sedikit orang yang mencoba memenuhi tarikan kelangitan disebabkan seolah-olah tarikan langit itu bertentangan dengan tarikan kebumian.

Seolah-olah tarikan kelangitan itu harus anti keduniawian. Harus lepas dari jerat kenikmatan duniawi. Bukan… bukan demikian sebenarnya. “wong nabung kuwi fungsine mung loro Pak, Bu.. nak ora dingge sodakoh nggeh dingge ngutangi tiyang sanes” (orang menabung itu fungsinya Cuma dua Pak, Bu.. kalau tidak untuk sedekah ya buat member hutang ke orang lain), begitulah pesan seorang Kyai kepada para pendengarnya.

Hal yang demikian itu sepertinya tampaklah berat. Bahkan sangat berat dan sangat sulit dipahami oleh mereka yang baru dalam tahap hitam putih. Untung rugi. Pahala dosa. Surga neraka (baca lagilife is never flat). Tidak demikian sebenarnya. Jika kita tak memahami sebuah desain agung sunatullah yang ada di semesta raya ini maka tentu saja kita tak mengerti apa yang menjadi rahasia itu. 

Dalam tradisi Jawa, orang yang sudah sedemikian total, ikhlas menyerahkan dirinya kepada Sang Maha Hidup (topo ngeli) pada ujungnya akan mendapatkan apa yang disebut sebagai ilmu bejo, ilmu keberuntungan. Sekti tanpa aji-aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. Ia memiliki tameng gaib dari Gusti Ingkang Akarya Jagad. 

Itulah sejatinya doa, total ikhlas, surrender. Terjadi keselarasan antara hati, pikiran, dan tindakan. Bagaimana caranya melihat keikhlasan? Ada banyak orang yang mengaku ikhlas, ngomongnya ikhlas, tapi dalam hatinya ia kecewa. Nah, itulah tandanya bahwa ia tak ikhlas. Ia masih mengorbit pada ke-ego-an diri, sifat ke-aku-an, dan itulah mbahnya nafsu. Cara paling gampang untuk melihat antara nafsu atau tidak yaitu: jika apa yang kita lakukan masih diembel-embeli kata “agar”, “supaya” dan sejenisnya, maka itulah nafsu:

Kita shalat supaya…

Kita sedekah supaya….

Kita tobat supaya….

Ingin menjadi orang baik supaya…

Membantu orang supaya…

Hal yang demikian itu masih tergolong nafsu. Mungkin bagi sebagian orang akan merasa aneh. Lhoh, itu kan keinginan yang baik. Lhoh, itu kan perbuatan yang baik. Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang hembusan anginnya. Semakin tinggi maqom seseorang, makin halus dan rumit ranjaunya. Sikap eling lan waspada mutlak harus selalu dikedepankan. Memahami  kesadaran  tidaklah  mudah,  karena  bekalnya  adalah  kesadaran  pula. Sebagaimana  digambarkan  dalam  filosofi  Jawa  dalam  bentuk  saloka  :  Nggawa  latu adadamar  ;  …membawa  api  untuk  mencari  api, kalau  ingin  cari  makan untuk mengisi perutmu, syaratnya perutmu harus kenyang dulu. Inilah seninya….

2 Responses to "Tarikan bumi dan tarikan langit"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2