MENYESAL KARENA MENGUCAP: ALHAMDULILLAH

Dalam posting kali ini kita akan memahami sikap Paijo yang sebenarnya kurang suka dengan cara Paimin yang mengadakan hajatan besar untuk dirinya. Sebuah peristiwa telah membekas dalam hati Paijo jauh sebelum itu. Ya, peristiwa itu adalah penyesalan ketika Paijo mengucap: Alhamdulillah. (Cerita Paijo dapat Anda baca di sini)

Lhoh… bersyukur kok nggak boleh? Mungkin sebagian dari Anda langsung menghakimi dengan pertanyaan demikian. Ah, jangan gegabah mengambil kesimpulan, simak dulu ceritanya.

Dua puluh tahun yang lalu Paijo memiliki sebuah toko di pasar. Suatu ketika terjadi kebakaran hebat di pasar tersebut. Api berkobar-kobar begitu dahsyatnya, melahap apa saja yang bersentuhan dengannya. Semua toko beserta barang dagangannya habis terbakar, kecuali toko Paijo. Para pemilik toko menangis karena kehilangan barang dagangannya, pekerjaannya, dan mata pencaharian sehari-harinya.

Seseorang karyawan mendatangi Paijo di rumah. 

“Jo… kebakaran, kebakaran. Pasar kebakaran”

“ya Pak, bagaimana sekarang keadaannya?”

“semua habis Jo, tapi beruntung toko kita tak ikut terbakar”

“Alhamdulillah”

Dan kalimat terakhir itulah yang sampai sekarang disesali oleh Paijo. Selama ini paijo selalu mengingat kejadian tersebut. Sungguh, Paijo sangat menyesali kalimat “Alhamdulillah”. Anda tahu kenapa Paijo menyesalinya? Penyesalan Paijo terjadi karena ia menyadari betul bahwa ia sangat jauh dari Tuhan. Ia menyadari bahwa kalimat Alhamdulillah menunjukkan dirinya masih sangat terhijab oleh egonya sendiri. Bagaimana bisa kita bersyukur di atas penderitaan orang lain? 

Seringkali saya melihat banyak orang yang dalam hal ekonomi kurang mampu namun mereka justru memiliki kepekaan yang tinggi terhadap sekelilingnya. Sebaliknya, banyak orang yang harusnya dapat berperan untuk mengatasi masalah ini justru semakin sibuk menumpuk-numpuk harta kekayaan. Hal ini mirip dengan cerita si Andi yang sudah saya posting di sini. Banyak dari kita berhasil menjadi ini itu namun ternyata gagal menjadi manusia. 

Berbahagialah ketika orang lain bahagia dan berempatilah saat orang lain menderita

Banyak ajaran-ajaran para suci yang dapat kita renungi. Yesus: jika kau ditampar pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu. Muhammad: jika kau membunuh seorang manusia maka seakan-akan kau telah membunuh semua manusia. Lihatlah, betapa mereka telah mengajarkan ajaran kasih dan kebajikan, tidakkah kita dapat meneladaninya?

Bayangkan, alangkah indahnya dunia jika setiap manusia saling mengasihi dan tolong-menolong. Tak akan ada perang yang tak perlu, tak akan ada tindas menindas. Di sini saya mencoba mengusik sisi kemanusiaan Anda tanpa embel-embel agama, karena terkadang agama pun berubah menjadi berhala sampai-sampai membutakan mata hati, kalap, dan kemudian tampil menjadi ksatria baja hitam yang melakukan terror dengan melakukan bom bunuh diri. 

Ah, barangkali saya ini Cuma suudzan saja karena jika kita lihat jumlah kuota orang naik haji yang melonjak saban tahun menunjukkan bahwa betapa masyarakat kita itu sangat religius. Apalagi jika kebetulan saya sedang nglencer ke kota banyak saya temukan para mujahid-mujahid yang berlomba-lomba mengais rupiah guna tambahan untuk membangun rumah ibadah. Benar-benar sesuatu banget karena banyak masjid yang megah-megah, mewah-mewah, bahkan kabarnya ada pula masjid yang berkubah emas. Mungkin untuk yang ini saya dapat ikut berbahagia. 

Akan tetapi rasa kebahagiaan saya mendadak luntur saat melihat betapa banyak rumah-rumah kumuh menunggu roboh diterjang banjir. Melihat pengamen-pengamen yang jumlahnya saya taksir juga bersaing dengan melonjaknya orang yang naik haji. Belum lagi jika melihat acara di tv, setiap hari saya sampai bosan dicekoki berita perkosaan, copet, pembunuhan, korupsi, mafia hukum, dan seabrek berita-berita yang membuat diri saya miris mendengarnya. Jadi, saya sungguh heran, atau mungkin saya ini sangatlah bodoh. Mungkin para mahsasiswa di universitas-universitas islam seperti IAIN dapat melakukan penelitian kecil-kecilan untuk saya. Bagaimana hubungan melonjaknya ritual-ritual agama dengan tingkat kemakmuran bangsa? Bagaimana hubungan antara toa-toa empat penjuru mata angin dengan banyaknya orang yang beribadah? Bagaimana hubungan banyaknya masjid dengan tingkat kejahatan? Atau mungkin Anda tahu jawabannya?

4 Responses to "MENYESAL KARENA MENGUCAP: ALHAMDULILLAH"

  1. Menurut saya (yang sangat tidak ahli dalam hal agama), kata Alhamdulillah yang diucapkan Paijo itu BENAR, karena PAIJO bersyukur atas rahmat Alloh menyelamatkan tokonya....kata Alhamdulillah ini tidak berarti dia bersenang-senang diatas penderitaan orang lain!

    Saran saya sih Mas, hati2 dengan deskripsi kontroversial seperti ini,bertanya dulu pada orang yang lebih ahli sebelum Mas posting cerita seperti ini, takutnya jadi "sesuatu yang kurang baik".

    Semoga Alloh selalu memberikan jalan yang lurus dan yang terbaik bagi kita semua. Amiiin

    Wallohualam.

    ReplyDelete
  2. Terimakasih atas tanggapannya saudaraku Fuji Mulia. cerita ini sebenarnya untuk menggambarkan tingkat kesadaran seseorang atau dalam istilah agama Islam biasa disebut maqom.

    dan sebenarnya cerita ini saya adopsi dari kisah-kisah para sufi. di daerah saya (Rembang), kisah-kisah seperti ini banyak bertebaran dan tak jarang menjadi bahan diskusi ala warung kopian.

    ReplyDelete
  3. Wah, dari judulnya sudah menggelitik. Dan pesan yang disampaikan pun sangat mengena. Saya jadi merasa tersindir :D

    ReplyDelete
  4. Mas Fikri. aku pun sedang menyindir diri sendiri hihihi

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2