ABABILKU, ABABILMU, ABABIL KITA
Oleh: Mata Elang
Ketika mendengar kata ababil, apa yang ada di pikiran Anda? Oh… tentu saja, ini bahasa gaul getoh… semula aku pun nggak ngeh perihal kosakata ababil yang belakangan ini sedang naik daun. Ternyata eh ternyata ababil adalah singkatan dari abege labil. Setelah riset kecil-kecilan aku pun menemukan fakta yang mencegangkan oh… jumlah mereka sangat banyak sekali akhir-akhir ini.
Secara psikologi jiwa mereka memang tergolong labil. Mereka cenderung tak bisa mengontrol emosinya walau jika “sesuatu” disampaikan secara baik dalam artian tidak menyinggung egonya, mereka akan menanggapinya juga dengan “duduk manis”. Akan tetapi, hal yang sungguh sangat aku sayangkan, sepertinya mereka sangat acuh dengan kehidupannya sendiri. Mereka beranggapan hidup adalah “asal gue seneng”, dan tak cukup tertarik (atau belum tertarik) untuk memahami makna sebuah kehidupan.
Tanpa sadar mereka ikut arus budaya hedonisme bahkan pil-pil “keparat”, dan mazab “selangkangan” adalah menu wajib dalam keseharian mereka. Mereka adalah korban dari pola didik yang (mungkin) salah. Terkadang mereka merintih dan mengiba kepada Tuhan, mereka ingin curhat tapi tak tahu kepada siapa. Ya… singkat kata mereka stress dalam kadar tertentu dan untuk menghilangkan kesetresannya larilah mereka ke hiburan-hiburan khas kaum metropolitan. Inilah contoh nyata dari PELARIAN NEGATIF DARI KESEPIAN EKSISTENSIAL.
HAK YANG TAK DIPENUHI
Sekali lagi aku katakan bahwa mereka adalah korban, lebih tepatnya korban dari hak yang tak dipenuhi. Jangan salah kaprah, hak adalah sesuatu yang harus diberikan kepada seorang anak sebelum ia diwajibkan memikul tanggung jawabnya. Selama ini masyarakat telah salah kaprah mengenai hal ini. Mereka beranggapan bahwa anak memiliki kewajiban. Bagaimana bisa? Seorang bayi dimanapun mereka dilahirkan, mereka memiliki hak untuk diasuh, dirawat, diberikan kasih sayang, pengajaran agama dan moral, pendidikan, dan segala pernik yang diperlukan untuk bekal memikul tanggung jawabnya kelak. Semua itu adalah hal esensial yang harus diberikan orang tua kepada anak.
Istilah orang tua itu sendiri jangan Anda persepsikan dengan orang yang berumur tua. Orang tua itu adalah mereka yang jiwanya sudah dewasa alias bisa ngemong. Orang tua sejati adalah mereka yang terus berusaha mencapai kodrat dirinya secara maksimal. Jadi istilah ababil ini juga bisa dianugerahkan kepada mereka yang berumur tua tapi masih berkelakuan layaknya ababil. Contohnya… ya seperti aku ini yang selalu ceplas ceplos sak karepe dewe.
Jadi sebenarnya hal ini juga masuk dalam lingkaran setan. Orang tua yang ada adalah ababil, putranya juga ababil. Ababil melahirkan ababil. Ada sesuatu yang terputus dari pola didik yang ada sekarang. Inilah biang kerok dari absurdnya keadaan Negara ini. Bahkan penulis artikel ini adalah ababil kelas kakap. Kenapa? Karena aku dan Anda itu satu keluarga, keluarga ababil, tapi aku saking bersyukurnya menjadi ababil, sampai-sampai menulis artikel ini. Kalau aku tidak ababil, mustahillah aku menulis artikel ini. Mengapa? Karena kalau aku dewasa maka aku akan langsung berusaha menangani mereka. Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang memaksaku untuk menuliskan ini, mungkin egoku yang terluka. Ya…. Jika demikian, pantaslah jika aku disebut ababil.
NORMA, HUKUM, DAN MORAL
Barangkali memang kita itu lebih mengutamakan norma daripada hukum dan moral. Norma adalah sesuatu yang disepakati alias bergantung pada kesepakatan kita atau kebiasaan banyak orang. Nah, jika orang tuanya adalah ababil, anak-anaknya juga ababil maka ababil menjadi sebuah norma. Norma-norma itu nantinya juga akan secara otomatis melahirkan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan norma, dalam hal ini norma ababil.
Sekarang kita mencoba mengambil contoh penerapan norma ini dalam kalangan orang gedhe. Tak jauh berbeda dengan ababil kecil kita, selain mazab hedonis dan selangkangan (lihat fenomena bisnis “lendir”. Ssstt… spa plus2 enak lhoh) mainan ababil gedhe lebih canggih. Lihatlah, dengan hasil korupsi kita memperoleh berbagai kemudahan dan kemajuan. Kita bisa beli ini itu, apa saja sebagaimana atau bahkan melebihi orang lain. Keluarga menganggap kita sukses, pesantren dan masjid yang kita bantu menyimpulkan kita adalah orang dermawan. Masyarakat melihat kita adalah “orang yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya dan mau bersedekah kepada mereka.
Akan tetapi (untungnya) di otak kita itu sudah terlanjur ada memori yang nyantol bahwa kalau kita korup itu akan menimbulkan semacam rasa yang tak enak di hati dan di depan Tuhan. Maka dari itu, tak cukup bantu pesantern, tak cukup bangun masjid, kita langsung melakukan pendekatan yang lebih intensif lagi dengan melakukan umroh sebanyak mungkin, naik haji sesering mungkin. Terkadang kita juga merasa bahwa Tuhan itu tersinggung saat kita tuduh Ia bisa disogok dengan umroh dan haji. Tapi hal yang demikian itu tak usah dirisaukan, karena jika kita lihat banyak dari keluarga kita yang melakukan hal demikian, rasanya hati kita dapat sedikit lebih tenang.
Luv u too Ababil, kayanya saya juga masih Ababil
ReplyDeletekwakakaka... iluv u juga mas. saya juga ababil dan sesama ababil dilarang saling mendahului.... hehehehehe
ReplyDelete