KESEPIAN EKSISTENSIAL

“kenapa kau bersedih Ndre?”, Elang menghampiri sahabat barunya yang sedari tadi tampak takzim melihat deburan ombak. Persis, seperti saat pertama kali mereka bertemu.

“tidakkah kau lihat Elang, semua yang ada di dunia ini datang dan pergi, tak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri”

“ya, kau benar Andre… lantas?”

“bukankah ini berarti bahwa kebahagiaan yang mereka cari juga akan dating silih berganti? Senang-sedih, bahagia-menderita, apakah mereka berpikir bahwa hidup layaknya kisah melati, kuncup mekar dan mati? Tapi, apa yang mereka tinggalkan, sedang sang melati mampu memberikan keharumannya. Tidakkah …?”

“cukup, Ndre… semua ini ada pada tempatnya. Tuhan memberikan kesempatan yang sama, perhatian yang sama, rasa susu yang sama kepada hamba-hambaNya. Hanya saja, terkadang kita jualah yang menganiaya diri kita sendiri”

Banyak kitab-kitab hidup (baca=kisah hidup manusia) yang saya baca memperlihatkan bahwa apa yang kebanyakan manusia cari berakhir pada pepesan kosong belaka. Pandangan kesuksesan yang bertebaran menghiasi rak-rak buku pada akhirnya hanya mengantarkan mereka pada kekosongan bathin. Anda dapat melihat realitasnya pada pengajian-pengajian agama atau pun sesekali cobalah tengok, siapa yang suka membolak-balik buku-buku kerohanian di toko-toko buku besar itu. Tepat, mereka adalah manusia yang sudah berumur. 

Ini mirip apa yang seperti dianalogikan oleh Andre Maulana dalam dialog di atas. Bahkan, manusia terkadang tak lebih hebat dari sekuncup bunga melati. Sang melati mampu memberikan keharumannya kepada dunia, namun tidak semua manusia bisa melakukannya. Ada sebuah kesepian yang menyeruak begitu saja dari kedalaman diri. Kesepian itu kian melilit saat anak-anak, istri, dan orang-orang terkasih satu demi satu lepas dari pandangan. Hilang dari kehidupan keseharian Anda. 

Dalam keadaan yang demikian, Anda mulai mempertanyakan akan hidup. Anda mulai khawatir akan kematian. Ya.. bayangan itu mulai menghantui pikiran Anda. Disaat fisik Anda mulai menua, di saat Anda sudah pensiun dari pekerjaan Anda, setiap malam pertanyaan akan makna hidup terus menggelayuti pikiran Anda. Dalam titik ini Anda pun mulai terbangun dari tidur lelap Anda. Apakah kehidupan ini hanyalah pergulatan pergantian senang-sedih sampai menuju kematian? Apakah kehidupan ini hanya sekedar lahir, sekolah, kuliah, bekerja, berkeluarga, dan mati? Apakah kehidupan ini hanya sekedar mencoba menggapai kesuksesan, mengejar karir, dan memiliki pendapatan untuk hidup senang? Jika demikian, tidakkah itu berarti bahwa Anda jugalah yang hanya mengarahkan anak-anak kita menuju pengulangan-pengulangan tanpa makna yang persis sama dengan yang kita jalani? Di sinilah Anda mulai menyadari bahwa aktivitas-aktivitas yang Anda jalani hanya sekedar pelarian dari kesepian ini. Kesepian eksistensial. 

PELARIAN DARI KESEPIAN=MENGHIDUPI ILUSI=MENUNDA KEMATIAN

Anda mulai menyadari bahwa yang selama ini Anda lakukan ternyata hanya sekedar lari dari kesepian, kesepian eksistensial. Mekanisme ini Anda lakukan karena Anda tak pernah sedikit pun berpikir untuk apa kegiatan-kegiatan itu dilakukan? Untuk apa sekolah, kuliah, dan bekerja? Bahkan Anda pun tak menyadari bahwa apa yang Anda lakukan selama ini hanyalah menghidupi ilusi pikiran orang lain. Anda hanya membebek mengikuti apa yang dilakukan orang kebanyakan tanpa bertanya makna hakiki dari aktivitas tersebut. Selama ini Anda hanya mengusahakan jantung sehat, asupan gizi supaya tubuh Anda bisa digerakkan kesana kemari. (baca lagi: MENUNDA KEMATIAN 2).

Sampai di sini biasanya orang juga merasakan bahwa ibadah-ibadah yang ia lakukan hanyalah formalitas belaka. Ia mulai membolak-balik lagi kitab sucinya. Ia merintih dan bertanya kepada Tuhan. Ada apa gerangan dibalik misteri kehidupan ini? Mengapa aku ada di bumi? Jawaban-jawaban yang ada pada kitab suci yang dulu mampir di otak hanya sepintas lalu mulai dipertanyakan kembali. “hidup ini untuk beribadah” begitu bunyi yang ada di dalam kitab. Ia mencari pembenaran akan kebenaran. Jawaban itu kini terasa dangkal dan tak memuaskan kesepiannya. 

Dari sana ia lantas pergi ke pengajian demi pengajian. Akan tetapi, keluar dari sana kesepian kembali menyelimutinya, bahkan saat berkumpul dengan sesama peserta pengajian ia masih merasa sepi. Ia merasa terputus akan sesuatu. Ya.. kesepian berarti ada keterpisahan. Ada sesuatu yang hilang dari dalam diri. Ada sesuatu yang terlepas… itu dia Cinta Sejati. Segala sesuatu berasal dariNya dan akan kembali kepadaNya, innalillahi wa innaillaihi rojiun. Persis, di sinilah undangan Tuhan ia baca. Kita berasal dariNya dan rindu untuk pulang kepadaNya (bukan pulang ke sorga).

Anak-anakku, kalian harus pikirkan. Jangan melihat kepada dunia; lihatlah kepada dirimu sendiri. Janganlah mencari kesalahan yang ada di dunia, carilah pada dirimu sendiri dengan Pengetahuan kesejatian. Janganlah marah pada dunia, tapi temukan setiap kesalahan yang ada pada dirimu sendiri. Jangan meneliti kehidupan keduniaan ini; teliti kehidupanmu dan semua kehidupan yang ada di dalam dirimu. Lihatlah ke dalam dirimu dan perhatikan sifat-sifat buruk yang dilakukannya. Pikirkan hal ini dan perhatikan. Jangan membaca buku tentang dunia ini; bacalah saja sejarah dirimu sendiri yang ada di dalamnya. Kau memiliki sejarah tentang empat ratus triliun sepuluh ribu kisah kelahiran.
(Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen)

Tidak keluar rumah sudah tahu masalah dunia. Tidak mengintip dari jendela sudah paham hokum alam. Makin jauh pergi mencari ilmu makin tahu sedikit. Maka, Sheng Ren (orang suci) tidak perlu keluar jauh sudah tahu banyak. Tidak menonjolkan diri sudah terkenal. Tidak melakukan apa-apa bisa berhasil.
(Lao Zi)

Barang siapa mengenal nafs-nya, maka ia mengenal Rabbnya
(hadist qudsi)

2 Responses to "KESEPIAN EKSISTENSIAL"

  1. Hmmm. Diam sunyi senyap baca artikel diatas :(

    ReplyDelete
  2. yah... Jangan sedih gitu lah bro. anggap aja sebagai renungan malam. hehe.. ya ya ya tar gw bikin yang motivasi lah. santai aja.

    ReplyDelete

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2