SUFI
Banyak orang Islam terutama yang masih hitam putih selalu menyerang kaum sufi dengan perkataan sesat bahkan kafir. Ini sungguh aneh. Bagiku pribadi hal itu tidaklah bijak. Dengan leher berotot dan penuh dengan nar (api, hawa nafsu) di dalam dirinya, mereka mengeluarkan kata-kata yang justru itu semakin menutup mata hati mereka terhadap tanda-tanda kebesaranNya.
Tataran dalam tasawuf sebagaimana tersusun atas empat tingkat: syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat itu dalam budaya jawa dikenal dengan neng, ning, nung, dan nang yang tersimbolisasi dari gamelan jawa kenong atau kempul, dan bonang. Berikut ini uraiannya:
1. Neng
Jumeneng. (sembah raga) Di sini manusia menjalankan “syariat”. Akan tetapi “syariat” di sini bukan terbatas pada kewajiban dimensi vertical saja, tapi juga dimensi horizontal. Pada intinya pada tahap ini si manusia dilatih untuk membiasakan diri untuk berbuat baik kepada dirinya sendiri dan lebih bagus jika itu juga untuk orang lain serta lingkungannya. Kebanyakan orang pada tahap ini masih suka diiming-imingi sorga dan bidadari-bidadari cantik alias masih ada nafsu negative berupa ke-aku-an diri. Sayangnya, pada tahap ini orang sudah merasa hebat. Dan itulah sebabnya mereka sangat mudah mengucapkan kata SESAT dan KAFIR. Ia mengganggap dirinya sudah paling benar dan suci, padahal baru sebatas kulit saja. Mereka belum sampai pada inti ajaran yang mulia. Contoh paling gampang dapat kita lihat pada perguruan silat. Anak yang baru level dasar itu gayanya minta ampun, sok jagoan, kemlinthi, petitapetiti. Padahal Maha Gurunya itu justru andhap asor. Semakin berisi semakin menunduk.
2. Ning
Wening. (sembah kalbu). Pada tahap ini si manusia sudah nggak kesengsem dengan bidadari sorga dan pahala, tak takut ancaman neraka. Yang ia cari yang buat sorga dan neraka. Dalam tahapan ini si manusia tadi sudah paham dualitas, hukum polaritas. Ora gumunan ora kagetan. Tidak mudah heran dan kaget. Di dalam hitam ada putih, di dalam putih ada hitam (baca: life is never flat). Ini setara dengan tahap tarekat.
3. Nung
Kesinungan. (sembah cipta). Pada tahap ini si manusia sudah dipercaya mendapat anugerah dari Tuhan seperti karomah para wali. Dalam tradisi jawa orang semacam ini mendapat apa yang disebut sebagai ilmu bejo. Apa-apa menjadi mudah. Biasanya omongannya menjadi makbul seketika. Idune idu geni dan bisa weruh sak durunge winarah (tahu sebelum kejadian terjadi) atau intuisinya tajam layaknya Nabi Khidir. Sampai tahap ini si manusia tadi memiliki rasa toleransi yang tinggi. Ibarat mendaki gunung, ia sudah sampai pada camp terakhir. Oleh karenanya, biasanya mereka dapat lebih memahami orang yang menggunakan jalan lain atau mendaki dari kaki gunung yang lain. Dalam tradisi Reiki mungkin pada tahap ini kundalini sudah naik sampai dengan cakra ajna. Ini setara dengan tahap hakikat.
4. Nang
Kemenangan. (sembah rahsa). Pada tahap ini si manusia sudah mencapai kesadaran ruhaniah. Dalam terminology Jawa diistilahkan dengan Manunggaling Kawula Gusti. Di dalam tasawuf hal ini diistilahkan si manusia sudah dianugerahi Ruh Al Quds. Dalam reiki mungkin dapat digambarkan saat kundalini sudah naik sampai dengan cakra mahkota. Inilah “puncak” gunung. Si manusia tadi sudah mencapai puncaknya dan bertemu dengan manusia-manusia lain yang mendaki dari kaki gunung yang berbeda (baca: beda agama). Ini setara dengan makrifat.
Diambil dari Mas Sabdalangit dan diselaraskan dengan pemahaman pribadi.
0 Response to "SUFI"
Post a Comment