Boncu kawanku


Boncu, mendengar nama itu aku langsung saja teringat sebuah wajah tak berdosa yang selalu tampak santai di kehidupannya.

 “ngopi kak genk”

Kata-kata itupun langsung meluncur ke dalam ingatanku. Tergambar juga dahinya yang super lebar, berkilau disinari sang surya. Samar-samar aku mencium bau yang tak asing dari indera penciumanku. Bau yang serupa parfum kata seorang guru sejarah SMA-ku dulu. Ya, bau itu adalah bau parfum tembakau. 

Belajar dari seorang Bonchu
Apa yang kupelajari dari si Bonchu kawanku ini adalah satu sikap yang langka dimiliki oleh kebanyakan orang sekarang. Sebuah sikap yang sebenarnya harus dimiliki oleh para petinggi di negeri ini. Sikap itu adalah kejujuran.

“Chu, dari tadi kok nggak pesen kopi?” kata seorang temanku di “kantor”

“iya, nanti aja”

“mbak, kopi satu lagi buat Bonchu” temanku langsung berinisiatif memesankan secangkir kopi manis untuknya.

“chu, rokoknya ini lho tinggal pilih, mau dharum, mild, samsu tinggal pilih”

Anda tahu kenapa si Bonchu ini ngggak mau pesen kopi? Itu semua karena ia sedang kena virus kantong kering alias nggak punya duit. Dan dengan sikapnya yang begitu secara tidak langsung ia telah mempraktekkan sebuah sikap yang mulia. Bahwa kalau nggak punya ya nggak punya. Nggak usah berlagak punya. Cobalah Anda lihat sikap para abege-abege sekarang. Mereka kebanyakan terbawa arus modernisasi dan berlomba-lomba untuk bergaya. Jikalau temannya ikut mode baru, mereka pun lalu ikut-ikutan seperti itu. Dan tak jarang demi mendapatkan wanita pujaannya, mereka bergaya layaknya seorang yang berduit. Mereka sepertinya lebih bangga menjadi orang lain daripada menjadi dirinya sendiri.

0 Response to "Boncu kawanku"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2